Metode Konvensional dalam Mengajar Harus Ditinggalkan
Martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas bangsa itu sendiri. Adapun kualitas suatu bangsa diukur dari tingginya sumber daya manusianya. Para pakar telah sama-sama setuju bahwa jalan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah dengan pendidikan. Dengan demikian, dunia pendidikan memegang peranan yang betul-betul penting.
Memang, pendidikan sungguh vital bagi kemajuan bangsa. Maka sangatlah beralasan jika kemudian Presiden Soeharto mencanangkan program wajib belajar enam tahun ini bertepatan dengan Hardiknas pada 2 Mei 1984. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada Mei 1994, kembali beliau mendengungkan program wajib belajar sembilan tahun.
Hal itu dilakukan demi mempercepat terwujudnya sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Untuk menyukseskan wajib belajar Sembilan tahun itu, maka sangat dibutuhkan para pendidik yang betul-betul ahli (profesional) agar dapat mengelola pendidikan secara baik.
Mengingat betapa pentingnya sektor pendidikan demi suksesnya pembangunan sumber daya manusia, berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan telah sama-sama kita rasakan dan kita lihat. Banyak pula pembaruan demi lebih meningkatnya mutu pendidikan. Di antaranya, mengganti kurikulum yang secara otomatis diikuti dengan berubahnya struktur buku-buku pelajaran. Selain itu, mengupayakan peningkatan kualitas guru-guru dengan cara penataran, seminar-seminar dan latihan kerja. Begitu juga penyediaan sarana dan prasarana bidang pendidikan.
Diterapkannya usaha-usaha tersebut tentu saja menuntut pengorbanan moral dan material. Misalnya, memberikan keringanan kepada guru-guru dengan mengurangi jumlah jam mengajar di sekolah agar dapat mengikuti penataran, baik dalam bentuk sanggar-sanggar meupun MGMP. Namun, segala upaya itu belum lagi menampakkan pencapaian target seperti yang diharapkan.
Bukti tersebut dapat kita ketahui lewat hasil UAN/UN yang tetap rendah tiap tahun. Lebih dari itu, rendahnya nilai-nilai para murid juga dipengaruhi oleh keseharaian mereka sendiri. Kita dapat menyaksikan, baik melalui media massa maupun mengamati langsung, betapa jumlah murid-murid yang malas kian melonjak. Meningkat pula angka kenakalan pelajar.
Barangkali kita patut bertanya : apa yang menyebabkan lambatnya peningkatan kualitas pendidikan? Untuk menemukan jawabannya, kita dapat menilik proses belajar mengajar di sekolah-sekolah. Sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru kepada murid baru sampai pada taraf memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan sekadarnya, belum sampai pada meletakkan nilai-nilai wawasan sosial dan kemanusiaan, serta memberikan pengatahuan-pengetahuan praktis untuk bekal hidup dalam bermasyarakat.
Yang lebih menggelikan, hubungan antara guru dan murid ibarat cerek dengan cangkir : yang satu sebatas memberi dan yang lain sekadar menerima.
Yang tak kalah lucu, sistem pengajaran yang diterapkan oleh guru hanya mengulang-ngulang serta sangat minim kreativitas dalam mengembangkan pelajaran dan seni mengajar. Sama-sama kita perhatikan bahwa masih ada saja guru-guru yang menggunakan buku dan catatan yang sama sepanjang tahun. Ada pula guru yang karena kurang menguasai bahan, mengambil langkah mudah, yaitu meringkas isi buku untuk dicatat para siswa. Atau, menghafalkan kata-kata dalam buku agar keesokan harinya dapat didiktekan kepada murid di dalam kelas.
Ilmu guru yang sedemikian bisa dikatakan cuma lebih tua satu malam daripada murid. Inilah kenyataan yang membuat integrasi guru-murid berjalan macet. Guru sibuk berbicara di depan kelas, sedangkan murid asyik melucu atau mengobrol di belakang.
Pengajaran kita pun masih sekadar menyodorkan teori-teori untuk dihafal kemudian akan diuji. Padahal, belajar dengan cara menghafal sungguh mematikan kreativitas otak untuk berpikir. Metode itu juga menunjukkan bahwa guru-guru masih bersetia dengan pengajaran sistem kuno. Sistem komunikasi dalam kelas pun cenderung satu arah dan murid lebih dominan bersikap “yes man” kepada guru.
Mengkritik ataupun beradu argumen dengan guru seolah dipandang tabu. Dalam sebuah dialog ringan dengan murid, ia mengatakan bahwa ia dibelenggu ketakutan. Jika “melawan”, murid tersebut khawatir akan berdampak pada merahnya isi rapor.
Ciri-ciri sistem pengajaran kuno atau konvensional sangat terlihat jelas dalam interaksi guru-murid di sekolah dewasa ini. Di antaranya adalah pendekatan yang masih bersifat otoriter. Guru menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, sehingga mengharuskan setiap murid menerima apa saja yang dikatakannya. Pernah terjadi pada sebuah sekolah, seorang murid yang kritis dan cerdas mencoba memberikan usul atau kirik konstruktif kepada seorang guru.
Baca juga : Pentingya Memiliki Kecerdasan Ganda Bagi Guru
Namun, apa yang terjadi? Sang guru menjadi merah muka, sebagai bukti bahwa ia tak suka atas usul muridnya. Guru itu tampak kesal dan pada akhir semester dia telah menodai rapor murid dengan angka merah. Sang guru melakukan tindakan memalukan tersebut entah karena merasa dendam karena merasa ilmunya dilampaui oleh sang murid atau semata-mata memang memperturutkan emosi.
Berbicara mengenai metode pendekatan dalam pendidikan, ada tiga bentuk metode, yaitu konvensional, progresif, dan liberal. Sekolah-sekolah kita sudah amat mengenal dan terbiasa dengan metode konvensional. Karena itulah, metode inilah yang kemudian melekat terus bak perangko.
Ciri-ciri kelas yang masih menerapkan metode konvensional adalah jumlah murid yang berjibun, karena lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Dalam proses belajar mengajar, siswa bersikap pasif. Mereka menelan mentah-mentah ilmu yang disodorkan tanpa berniat mencernanya terlebih dahulu. Dalam menyerap pelajaran pun seolah-olah guru serba tahu secara mutlak.
Ceramah merupakan cara mengajar yang lazim diterapkan. Murid-murid kurang terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Inilah penyebab suasana kelas dan belajar menjadi serba membosankan. Tak heran jika hampir setiap hari ada saja murid yang sengaja membolos. Maka, tidak berlaku lagi kata-kata mutiara yang berbunyi “kelasku adalah istanaku”. Tetapi, yang terjadi adalah “kelasku terasa bagaikan penjara”.
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, peran guru tidak hanya membantu proses pembelajaran atau sebagai seseorang pengambil keputusan instruksional. Tetapi lebih dari itu, guru harus dapat berperan sebagai konselor, motivator, dan fasilitator bagi murid-murid. Musykil pula seorang guru mampu berpartisipasi secara optimal dalam pendidikan jika ia sendiri belum menampakkan kualitas diri. Untuk itu, kita mengharapkan agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Andaikata mereka mengikuti penataran, misalnya, janganlah hanya menerapkan sertifikat untuk menaikkan kredit point.
Apalagi malah bersikap pasif atau sekadar hura-hura.
Baca juga : Bagaimana Guru Yang Dicintai?
Agar dapat memainkan peran dengan baik dalam dunia pendidikan, maka guru harus senantiasa membelajarkan diri, autodidaktif. Tidak ada tempat lagi bagi guru untuk selalu berlindung di balik alasan untuk tidak belajar. Sediakanlah waktu setiap hari untuk menyentuh buku-buku yang bermanfaat dan dapat menambah wawasan. Harapannya, kita semua dapat menjadi guru yang berkualitas dan dapat mendidik murid-murid menjadi sumber daya manusia yang bernas pula.
0 Response to "Metode Konvensional dalam Mengajar Harus Ditinggalkan "
Post a Comment