Menumbuhkan Kemandirian Belajar
Kita tidak perlu merasa terkejut jika mendengar pengakuan seorang mahasiswa yang baru saja masuk kuliah pada perguruan tinggi negeri atau swasta, namun masih merasa ragu-ragu untuk menuntut ilmu. Cukup banyak contoh seperti itu di sekitar kita.
Kemandirian belajar agaknya belum dimiliki oleh banyak pelajar. Ada guru yang mengatakan bahwa pelajar sekarang banyak yang bersifat seperti paku. Mereka baru bergerak setelah dipukul dengan palu. Sebagian besar dari mereka juga pasif. Dalam membaca buku-buku pelajaran saja misalnya, jika tidak disuruh atau diperintah oleh guru, buku-buku tersebut akan tetap tidak tersentuh dan akan selalu baru karena tidak pernah dibaca.
Cukup banyak penulis yang hanya membebankan kegagalan pendidikan atau ketidakmandirian siswa dalam belajar kepada pundak sekolah. Mereka lupa melihat kondisi lingkungan rumah para siswa. Sebab, lingkungan rumah cukup dominan dalam menentukan kemandirian belajar. Faktor tingkat pendidikan orang tua yang cukup rendah dan sikap suka menyerahkan urusan pendidikan anak kepada sekolah semata merupakan dua dari sekian banyak penyebabnya.
Kealpaan orang tua dalam mendidik anak untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya telah menjadikan anak terbiasa berkeliaran tak menentu dan hidup tidak teratur sejak bangun tidur sampai kembali memejamkan mata.
Pelajar-pelajar yang gemar membolos pada jam pelajaran merupakan produk rumah, orang tua yang tidak mau tahu terhadap masalah pendidikan anak-anak mereka. Gambaran sekolah sekarang bukan lagi arena menuntut ilmu, dengan pelajar yang asyik menekuni aneka buku ilmu pengetahuan. Tetapi, citra sekolah sekarang adalah tempat berhuru-hara bersama kawan-kawan. Dari tiga aspek, yaitu kognitif, psikomotorik, dan efektif, yang dikembangkan dari diri pelajar melalui proses belajar mengajar dan kegiatan ekstrakurikuler, terlihat kurang berimbang. Dalam kegiatan ekstrakurikuler saja, kegiatan pengembangan efektif atau pembinaan sikap masih kurang, karena wadah-wadah penyaluran tidak ada. Sementara itu, sekolah lebih memerhatikan pengembangan aspek kognitif dan psikomotorik, yaitu berupa pemberian ilmu pengetahuan dan pelaksanaan latihan keterampilan serta olahraga.
Kerap kali, siswa telah belajar di tingkat SMA sekalipun, dalam mengambil asas manfaat, masih seperti anak kecil. Mereka sering bertanya kepada bapak dan ibu guru ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung, tentang pelajaran yang ditulis pada papan tulis apakah untuk disalin di buku atau tidak. Padahal jika mereka memang merasa hal itu dibutuhkan, seharusnya mereka akan menyalinnya. Begitu pula dalam mengomentari keberadaan buku-buku pelajaran mereka yang jarang mereka sentuh. Mereka menjawab bahwa bila guru tidak menyuruh untuk mengerjakan tugas-tugas rumah atau untuk membacanya, buat apa buku-buku itu dibaca? Jika begitu, konsep belajar mereka adalah baru berbuat setelah mendapat perintah.
Cara belajar yang belum menunjukkan kemandirian dari kebanyakan para pelajar tersebut akan membawa pengaruh pada jenjang berikutnya. Andaikata mereka melanjutkan studi ke perguruan tinggi, mereka sering salah memilih jurusan, sehingga memendam rasa sesal kemudian. Sering mereka hanya mengambil jurusan hanya sekadar mode dan tidak mengukur kemampuan diri. Atau, mereka memilih jurusan karena adanya pengaruh atau setengah paksaan yang datang dari berbagai pihak. Bertambah membengkaklah angka drop out mahasiswa di perguruan tinggi.
Lebih dari itu, seandainya mereka tidak begitu mujur untuk malanjutkan studi ke perguruan tinggi, tentu akan menambah angka pengangguran yang telah gemuk juga. Pada akhirnya, mereka sering menjadi parasit dalam tubuh sosial masyarakat. Pergi merantau untuk mengayakan pengalaman hidup dan mengadu untung pun tak akan berani. Sebab, mereka akan menjadi beban bagi mertua mereka masing-masing. Kecuali jika mereka berani mengambil keputusan dan melakukan perubahan sikap untuk hidup secara total.
Sampai saat ini, banyak kritik tentang proses belajar mengajar di sekolah yang lebih cenderung bersifat instruction (mengajar) daripada sekolah yang bersifat education (mendidik). Bisa jadi, penyebabnya adalah guru hanya menguasai ilmu sebatas bidang studi mereka semata, itu pun tidak begitu mendalam. Di samping itu, pengabdian guru belum sepenuhnya tulus. Maksudnya, adakalanya pengabdian guru bersifat pamrih atau berdasarkan nilai ekonomis. Dengan kata lain, mereka baru sudi untuk berbuat jika ada imbalannya.
Ketidakmandirian pelajar, guru-guru, dan siapa saja dalam proses pematangan diri merupakan batu sandungan untuk mencapai kemantapan sumber daya manusia. Akan percuma kata-kata sumber daya manusia yang berkualitas tetap diserukan oleh pemerintah melalui berbagai media masa jika setiap individu tidak melakukan usaha sendiri dalam belajar demi menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan lain.
Tidak ada kata tidak, kemandirian dalam belajar perlu ditingkatkan. Maka diperlukan introspeksi diri yang ditinjaklanjuti dengan perbuatan nyata, bukan hanya melakukan introspeksi kemudian berteori. Sebab, teori tanpa tindakan atau aplikasi akan tetap sia-sia hasilnya.
Kita boleh sedikit merasa lega, karena kini ads taman kanak-kanak yang telah mendorong anak didiknya untuk melakukan kemandirian dalam belajar. Dulu, TK lebih berfokus pada kegiatan menyanyi dan menari untuk kemudian dilupakan. Namun, TK masa kini telah memiliki kurikulum yang lebih dewasa dan tidak lagi hanya sekadar teori.
Kita patut merasa salut melihat dengan telah adanya sekolah yang mewajibkan peserta didiknya untuk berlangganan majalah dan berpesan kepada orang tuan di rumah untuk ikut serta membimbing anak. Usaha-usaha positif dan lebih serius sungguh kita harapkan untuk tingkat sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Di samping menyediakan fasilitas balajar bagi anak-anak, juga ikut mengontrol pemanfaatan waktu yang baik. Kemandirian dalam belajar perlu ditingkatkan demi menyonsong masa depan.
0 Response to "Menumbuhkan Kemandirian Belajar"
Post a Comment