Ekstrakurikuler yang Berorientasi pada Dunia Kerja

Ekstrakurikuler yang Berorientasi pada Dunia Kerja


Angka pengangguran setiap tahun bukannya semakin berkurang, tetapi malah sebaliknya, kian meningkat dan bertambah parah. Mengapa demikian tinggi tingkat pengangguran di negeri yang begitu hijau dan subur ini? bukankah lebih baik jika para pengangguran tersebut memanfaatkan alam Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini, misalnya dengan bertani dan berkebun?

Tak perlu malu. Di negara maju saja, bertani, beternak, dan berkebun merupakan profesi yang cukup banyak dilakukan oleh  generasi muda. Mengapa di Negara kita profesi ini dianggap begitu rendah? Orang-orang pun cenderung mengabaikannya karena merasa malu jika memiliki mata pencaharian seperti itu, terutama para sarjana. Namun, mengapa mereka tidak merasa malu jika menjadi pengangguran?

Dari ilustrasi di atas, menganggur bisa jadi ditimbulkan oleh tipisnya etos kerja. Hidup tanpa etos kerja barangkali telah ditanamkan sejak berada di lingkungan keluarga. Begitu kuat pengaruh kata-kata yang dilontarkan oleh orang tua dan family di rumah terhadap generasi muda.

Mereka beranggapan bahwa profesi  sebagai pencangkul sawah merupakan pekerjaan dina yang tak pantas dikerjakan anak sekolah. Selanjutnya, itulah yang terhunjam dalam sanubari anak-anak.

Mereka merasa gengsi jika harus bersentuhan dengan pekerjaan yang mengandalkan okol seperti bertani dan berkebun tersebut. Namun, karena otak yang tidak begitu mendukung, ditambah lagi wawasan sempit dan mental yang lemah, akhirnya mereka menjadi pupuk bagi suburnya angka pengangguran. Tampak jelas bahwa pengangguran, selain disebabkan oleh faktor di atas, juga ditentukan oleh ketidakpastian orang tua dalam memperkenalkan serta mewarisi generasi muda dengan keterampilan bekerja.

Lingkungan sosial pun turut andil dalam membentuk mental-mental pengangguran. Semangat ibarat virus, karena ia cepat menular. Maka, sangat arif jika kita menghindari orang-orang yang memiliki mental seorang pengangguran dan memiliki karakter suka mematahkan semangat.

Melempemnya etos kerja juga ditimbulkan oleh pihak sekolah. Walau sekolah telah dibagi atas sekolah umum dan sekolah kejuruan, tampaknya sekolah-sekolah itu lebih memperhatikan aspek kognitif atau intelektual dan cenderung mengabaikan aspek psikomotorik serta faktor efektif.

Sekolah kejuruan saja, misalnya, yang tak hanya melatih dan mendidik para siswa dalam aspek koginitif, tetapi juga psikomotorik (keterampilan), masih banyak melahirkan lulusan yang “demam menganggur”. Kuncinya terletak pada minimnya pendidikan efektif atau mentalitas kerja. Apalagi jika kita meninjau keadaan sekolah lanjutan umum yang memang mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Kegiatan ekstrakurikuler yang seharusnya menawarkan keterampilan hidup kenyataannya masih bersifat main-main saja. Ia belum dirancang secara serius untuk menghadapi tantangan masa depan. Kegiatan ekstrakurikuler yang umum diikuti oelh banyak siswa sekarang adalah seperti olahraga, pramuka, dan pencinta alam. Kegiatan itu pun cenderung angin-anginan.

Kemudian, kegiatan ekstrakurikuler lain yang juga diikuti oleh siswa adalah bahasa inggris dan komputer. Tetapi, kualitas anak didik setelah mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler itu kelihatannya tak banyak mengalami perubahan ke arah yang positif. Salah satu biang keladinya adalah kebanyakan dari kita, juga anak-anak didik, memiliki semangat belajar yang rendah dan tidak disiplin, sehingga sering putus di tengah jalan. Para peserta kegiatan ekstrakurikuler bisa diibaratkan (ekor tikus), yang makin ke ujung makin habis.

Secara formal, kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dituangkan melalui kegiatan OSIS. Program yang diterapkan oleh OSIS meliputi delapan seleksi, yaitu :

1. Pendidikan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2. Pendidikan kehidupan berbangsa dan bernegara,
3. Pendidikan pendahuluan bela negara,
4. Pendidikan kepribadian serta budi pekerti luhur dalam organisasi politik dan kepemimpinan,
5. Pendidikan keterampilan dan kewiraswastaan,
6. Pendidikan perspesi dan kreasi seni,
7. Pendidikan kesegaran jasmani, dan
8. Pendidikan daya kreasi.

Demi kelancaran pelaksanaan kegiatan OSIS tiap tahun, maka setiap sekolah mengadakan rapat OSIS untuk memilih seleksi pelaksana dari unsur siswa dan seksi pembimbing dari unsur guru. Tetapi, bagaimana realitasnya? Pelaksanaan kegiatan OSIS, kecuali sebagian kecil saja, bersifat “omong kosong” dan sekadar teori di atas kertas alias hitam di atas putih.
Meski demikian, SK-SK yang beratas nama Pembina OSIS itu sudah dimanfaatkan oleh guru-guru yang berasngkutan sebagai modal naik pangkat. Jadilah, mutu ekastrakurikuler tidak pernah bergenjot naik.

Seperti yang telah disebutkan di atas, sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas telah diklasifikasikan dalam sekolah umum (SMA) dan sekolah kejuruan (SMK). Namun, bukan berarti bahwa SMA, yang memang memperiapkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan jumlah siswa yang juga mayoritas, membuat para lulusannya benar-benar melenggang ke perguruan tinggi. Faktor intelektual dan keuangan yang macet sering menjadi batu sandungan para  lulusan SMA untuk melangkah ke universitas.

Tidak dapat dipungkiri, faktor intelektual dan keuangan yang tinggi tetap menguntungkan demi melancarkan studi. Namun, karena orang tua dan lingkungan tidak mewarisi semangat kewiraswastaan, membuat para sarjana pun kelimpungan. Sifat gengsi dalam mencari dan melakukan kerja mambuat mereka semakin terpuruk dalam dunia pengangguran.

Cukup banyak sebenarnya orang yang sudah menyadari bahwa sekolah bukanlah satu-satunya tempat untuk mempersiapkan diri untuk terjun ke dunia profesi. Misalnya, kemahiran membaca not balok, menjadi pelari cepat, melukis, dan membuat boneka, yang kelak dapat berguna dalam kehidupan seseorang, bisa diperoleh di tempat lain. Adapun yang perlu dipersiapkan di sekolah adalah apresiasi dan motivasi siswa untuk terus berkarya.

Pengajaran seni atau keterampilan di sekolah, misalnya, pada praktinya hanya berupa pengajaran istilah-istilah. Pelajaran olahraga pun begitu mendarah daging, karena cukup banyak siswa yang tidak melakukan olahraga secara rutin di rumah. Pelajaran fisika dan pelajaran eksak lain belum mampu menggugah keingintahuan siswa untuk mengeksplorasi alam. Sebab, dalam ulangan pun yang terpenting adalah penguasaan atau hafalan terhadap rumus-rumus.

Sebenarnya, kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan oleh sekolah cukup bermanfaat. Tetapi, banyak siswa belum bisa merasakan faedahnya. Di Inggris, misalnya, para pelajar sudah biasa mengambil ekstrakurikuler pada malam hari. Mereka melakukan hal itu demi menyalurkan hobi atau mencari teman. Karena itulah, mereka sudah tak asing lagi dengan jenis-jenis kegiatan ekstrakurikuler. Tak heran, mereka tidak merasa canggung lagi dan tidak mengenal masa menganggur setelah lulus.

Karena itulah, mengikuti ekstrakurikuler yang tepat dan hidup dengan cara menghargai waktu akan memberikan dampak positif. Anak didik atau remaja akan dapat memiliki kedewasaan dan percaya kepada diri sendiri. Namun, sikap kebanyakan dari kita adalah buang-buang waktu, meskipun pada hari atau jam kerja. Jauh berbeda dengan sikap hidup orang di Negara maju. Misalnya orang-orang di Amerika tidak bisa bertandang seenaknya ke rumah orang lain. Para anak didik juga belajar dengan serius. Pulang ke rumah, setelah instirahat sebentar, akan menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah.

Kebalikannya, siswa-siswa di sekolah kita malah cenderung pasif. Mereka mengeluh jika diberi pekerjaan rumah. Mungkin karena mereka sudah terbiasa hidup santai dan suka bermain-main sepanjang waktu. Mereka lebih tertarik menikmati hiburan dan berhura-hura.

Jika melihat angka pengangguran yang membengkak, kita patut berpikir lebih keras untuk mencari jalan keluar. Sangat tepat jika memberikan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang berorientasi pada dunia kerja.

0 Response to "Ekstrakurikuler yang Berorientasi pada Dunia Kerja"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel